BOJONEGORO || Penarealita.com – Isu dugaan praktik “titip harga” dalam pengadaan ready mix kini berkembang ke arah yang lebih serius. Meski dana Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) Tahun Anggaran 2025 belum sepeser pun masuk ke Rekening Kas Desa (RKD), geliat aktivitas proyek di sejumlah desa penerima bantuan sudah mulai terasa.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, beberapa pengusaha beton mulai mendatangi desa-desa penerima BKKD dengan membawa proposal kerja sama. Menariknya, langkah ini dilakukan seolah-olah mereka mendapat “komando” dari pihak tertentu. Fenomena tersebut menimbulkan tanda tanya besar di kalangan pemerintah desa, terlebih ketika pada tahap awal — saat pendampingan teknis dan administrasi sangat dibutuhkan — banyak pihak justru tidak memberikan dukungan berarti.
Namun kini, ketika aroma proyek mulai tercium, sejumlah pihak datang menawarkan kerja sama dengan semangat berlipat.
Lebih jauh, muncul dugaan adanya ploting wilayah pemasok beton. Di beberapa kecamatan, sejumlah desa disebut-sebut “diarahkan” untuk bermitra dengan rekanan tertentu yang seolah telah ditentukan sebelumnya. Jika dugaan ini benar, maka keberadaan juknis dan aturan pengadaan barang/jasa yang selama ini digadang-gadang sebagai simbol transparansi oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menjadi dipertanyakan.
“Desa diminta taat administrasi, tapi di lapangan justru dihadapkan pada pengaturan halus yang tak tertulis,” keluh salah satu Kepala Desa yang enggan disebut namanya.
Kondisi ini membuat pemerintah desa berjalan di atas garis tipis antara kepatuhan dan tekanan. Beberapa Kepala Desa dan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) bahkan bolak-balik ke Dinas PU Bina Marga dan Penataan Ruang, membawa berkas yang terus-menerus diminta untuk diperbaiki, sementara petunjuk teknis (juknis) belum juga jelas dan kerap berubah-ubah.
Ironisnya, ketika dana BKKD belum juga masuk RKD, Wakil Bupati Bojonegoro bersama Kejaksaan Negeri, Dinas PU, dan Inspektorat telah turun melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah desa. Langkah ini justru memunculkan pertanyaan baru di kalangan aparat desa — apakah sidak dilakukan untuk memastikan kesiapan program, atau justru sebagai bentuk kontrol terhadap arah pelaksanaan proyek?
Situasi ini menciptakan paradigma baru yang menyesatkan: bantuan yang seharusnya menjadi instrumen percepatan pembangunan desa kini berubah menjadi sumber ketegangan dan ketakutan administratif.
Desa dibebani tanggung jawab penuh atas program yang mekanisme dan arah pelaksanaannya tidak sepenuhnya mereka kuasai. Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, BKK berpotensi menjadi ladang kepentingan baru yang jauh dari asas keadilan, transparansi, dan pemberdayaan desa.
Pada akhirnya, desa kembali menjadi pihak yang paling dirugikan dalam kebijakan yang dijalankan atas nama pembangunan, namun menyimpan aroma pengaturan di baliknya.( Red )